Jurnal Ekonomi dan Pendidikan
INFLASI DI INDONESIA, DAN DAMPAKNYA
TERHADAP KEMISKINAN
DI INDONESIA
¹Dita Natania Harefa, ²Redika Sitompul, ³Dennisa
Simanjuntak, ⁴Elfrida Purba, ⁵Stevi Jesika Siagian
Email: ¹ditanatania88@gmail.com, ²redikasitompul@gmail.com
Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Medan
Abstrak
Krisis moneter yang melanda
negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, telah menyebabkan rusaknya sendi-sendi
perekonomian nasional. Krisis moneter menyebabkan terjadinya imported inflation
sebagai akibat dari terdepresiasinya secara tajam nilai tukar rupiah terhadap
mata uang asing, yang selanjutnya mengakibatkan tekanan inflasi yang berat bagi
Indonesia. Fenomena inflasi di Indonesia sebenarnya semata-mata bukan merupakan
suatu fenomena jangka pendek saja dan yang terjadi secara situasional, tetapi
seperti halnya yang umum terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang
lainnya, masalah inflasi di Indonesia lebih pada masalah inflasi jangka panjang
karena masih terdapatnya hambatan-hambatan struktural dalam perekonomian
negara. Selain berdampak pada harga barang yang tinggi fenomena inflasi ini
juga berdampak aktif terhadap kemiskinan dan kesenjangan social politi,dan
fenomena budaya lainnya terhadap masyarakat dalam negeri.presentasi pengaruh
infalasi terhadap kemiskinan dapat dilihat dari beberapa data statistic.
Kata kunci: Inflasi, Kemiskinan, dan Kesenjangan Sosial
Abstract
The monetary crisis that hit ASEAN countries,
including Indonesia, has caused damage to the joints of the national economy.
The monetary crisis caused imported inflation as a result of the sharp
depreciation of the rupiah exchange rate against foreign currencies, which
subsequently resulted in severe inflationary pressures for Indonesia. The
phenomenon of inflation in Indonesia is actually not merely a short-term
phenomenon and that occurs situationally, but as is common in other developing
countries, the problem of inflation in Indonesia is more about the problem of
long-term inflation because there are still obstacles structural constraints in
the country's economy. In addition to having an impact on goods prices, the
high phenomenon of inflation also has an active impact on social polity poverty
and inequality, and other cultural phenomena towards the domestic community.
The presentation of the effect of inflation on poverty can be seen from several
statistical data.
Keywords: Inflation, Poverty, and Social Inequality
PENDAHULUAN
Krisis moneter yang melanda
negara-negara anggota ASEAN, telah memporakporandakan struktur perekonomian
negara-negara tersebut. Bahkan bagi Indonesia, akibat dari terjadinya krisis
moneter yang kemudian berlanjut pada krisis ekonomi dan politik ini, telah
menyebabkan kerusakan yang cukup signifikan terhadap sendi sendi perekonomian
nasional. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia menyebabkan banyak lonjakan
harga barang-barang impor ini, menyebabkan harga hampir semua barang yang
dijual di dalam negeri meningkat baik secara langsung maupun secara tidak
langsung, terutama pada barang yang memiliki kandungan barang impor yang
tinggi.
Karena gagal mengatasi krisis moneter dalam
jangka waktu yang pendek, bahkan cenderung berlarut-larut, menyebabkan kenaikan
tingkat harga terjadi secara umum dan semakin berlarut-larut. Akibatnya, angka
inflasi nasional melonjak cukup tajam. Lonjakan yang cukup tajam terhadap angka
inflasi nasional yang tanpa diimbangi oleh peningkatan pendapatan nominal
masyarakat, telah menyebabkan pendapatan riil rakyat semakin merosot. Juga,
pendapatan per kapita penduduk merosot relatif sangat cepat, yang mengakibatkan
Indonesia kembali masuk dalam golongan negara miskin. Hal ini telah menyebabkan
semakin beratnya beban hidup masyarakat, khususnya pada masyarakat strata
ekonomi bawah. Selain beberapa hal diatas ada beberapa masalah yang dihadapi
oleh Negara Indonesia yaitu adalah kesenjangan budaya sosial, politik, dan kekerasan
terhadap perekonomian.
Pemerintah adalah sebagai kepala suatu perekonomian yang
mengatur dan menjalankan perekonomian di Indonesia. Tentu saja dalam
mengaturnya pemerintah mengalami kesulitan dimana untuk mencapai tujuan yang
memuaskan. Salah satu kesulitan yang terus menerus mendapat perhatian
pemerintah Indonesia adalah masalah inflasi dan kemiskinan. Tujuan jangka
panjang pemerintah adalah menjaga agar tingkat inflasi yang berlaku berada pada
tingkat yang sangat rendah. Tingkat inflasi nol persen bukanlah tujuan utama
kebijakan pemerintah karena ia adalah sukar untuk dicapai. Yang paling penting
untuk diusahakan adalah menjaga agar tingkat inflasi tetap rendah. Begitu pula
efeknya terhadap tingkat kemiskinan akan membuat rakyat menderita. Disini
penulis akan mencoba mencari dampak yang menyebabkan dan upaya yang akan
dilakukan untuk pengentasan kemiskinan.
Salah satu usaha yang dilakukan oleh
pemerintah untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia adalah dengan cara melakukan
pembangunan, dengan cara melakukan pembangunan khusunya pada daerah terpencil
maka membantu pemerintah untuk mengatasi kemiskinan dengan melakukan
pembangunan maka akan mempermudah dalam masyarakat melaksanakan pembangunan.
Adapun beberapa hal yang mau
dilihat:
1. Penelitian ini dibuat dengan hasil
perumusan masalah dari berbagai sumber baik dari buku, internet, maupun hasil
pandangan orang. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan pengetahuan
tentang inflasi dan kemiskinan kepada pembaca baik itu pengertian inflasi,
macam inflasi, dampaknya yang merupakan kemiskinan.
2. Pengaruh
inflasi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia, Pengaruh pengangguran
terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia, Pengaruh variabel ekonomi lainnya
yaitu pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terhadap tingkat
kemiskinan di Indonesia
3. Pengaruh
variabel demografis yaitu pendidikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia .
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh antara variabel-variabel ekonomi
makro yaitu inflasi dan pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia.
Selain itu juga akan dilihat adanya pengaruh variabel ekonomi yaitu pertumbuhan
PDRB dan pengaruh variabel demografi berupa pendidikan terhadap tingkat
kemiskinan di Indonesia pada tahun 2018, sesuai dengan data yang ada dalam SPSS,
yaitu inflasi dan terhadap kemiskinan yang diangkat dari data 2018.
TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teoritis
Pengukuran
tingkat kemiskinan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya penting untuk menunjukkan
bagaimana kemajuan ekonomi dapat meningkatkan standar kehidupan dan
kesejahteraan masyarakat serta bagaimana pengaruh dari berbagai kebijakan yang
dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat miskin. Pengangguran dapat
mempengaruhi kemiskinan dengan berbagai cara. Jika rumah tangga tersebut
memiliki batasan likuiditas (yang berarti bahwa konsumsi saat ini sangat
dipengaruhi oleh pendapatan saat ini) maka pengangguran akan secara langsung
mempengaruhi kemiskinan baik yang diukur dari sisi pendapatan (income poverty
rate) maupun kemiskinan yang diukur dari sisi konsumsi (consumption poverty
rate).
Jika
rumah tangga tersebut tidak menghadapi batasan likuiditas (yang berarti bahwa
konsumsi saat ini tidak terlalu dipengaruhi oleh pendapatan saat ini) maka
peningkatan pengangguran akan menyebabkan peningkatan kemiskinan dalam jangka
panjang, tetapi tidak terlalu berpengaruh dalam jangka pendek. Secara umum,
sebagian besar rumah tangga tergantung pada upah atau gaji yang diterimanya,
sehingga terjadinya pengangguran akan menyebabkan hilangnya sebagian besar
pendapatan. Lebih jauh, masalah pengangguran ini lebih sering terjadi pada
kelompok masyarakat berpendapatan rendah sehingga menyebabkan mereka harus
hidup di bawah garis kemiskinan.
Tinjauan Teoritis Tentang Inflasi
Beberapa
penelitian yang melihat hubungan kemiskinan dengan pengangguran dan inflasi
telah dilakukan oleh sejumlah peneliti antara lain
a.
Cutler & Katz (1991) dan Powers (1995a) menemukan hubungan yang kuat antara
kemiskinan dengan berbagai variabel ekonomi makro. Penelitian-penelitian
tersebut juga membuktikan bahwa tingkat pengangguran dan inflasi keduanya
berhubungan positif dengan jumlah penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan; semakin tinggi tingkat inflasi dan pengangguran semakin besar
tingkat kemiskinan. Juga ditemukan bahwa pengangguran memiliki pengaruh yang
kuat terhadap tingkat kemiskinan sementara inflasi hanya memberikan pengaruh
yang relatif kecil.
b. Powers (1995b), menemukan ternyata
ada hubungan yang signifikan dan positif antara inflasi dan tingkat kemiskinan
bila tingkat kemiskinan tersebut diukur dari sisi konsumsi (consumption poverty
rate)
c.
Oktaviani (2001), yang meneliti pengaruh inflasi dan pengangguran terhadap
kemiskinan di perkotaan Indonesia menemukan bahwa inflasi dan pengangguran
bersama-sama dengan variabel ekonomi lainnya serta variabel demografis
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap angka kemiskinan baik yang
dihitung melalui head count index (persentase penduduk yang berada di bawah
garis kemiskinan), poverty gap index (rata-rata kesenjangan pengeluaran
masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan), maupun
distributionally sensitive index (penyebaran pengeluaran diantara penduduk
miskin).
d.
Hoover & Wallace (2003), menemukan bahwa tingkat kemiskinan sangat sensitif
terhadap kondisi ekonomi, dimana terjadinya peningkatan pengangguran. Fenomena struktural
yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural dalam perekonomian di
negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Strucktural
bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu :
1.
Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis. Hal ini dikarenakan
pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan
teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sektor
pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.
2.
Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang
lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatasan cadangan valuta asing ini
menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-barang baik bahan baku, input
antara, maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor
industri menjadi terbatas pula. Belum lagi ditambah dengan adanya demonstration
effect yang dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Akibat dari
lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju
pertumbuhan supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.
3.
Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan
rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya
timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya
pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan
uang (printing of money) yang menyebabkan peningkatan kemiskinan.
Tinjauan Teoritis Tentang
Kemiskinan
Pengertian kemiskinan
Titik
awal dalam pengukuran ekonomi kesejahteraan adalah suatu fungsi utilitas yang
menyatakan bahwa mengkonsumsi lebih banyak barang dan jasa akan meningkatkan
kesejahteraan, ini menyiratkan bahwa kesejahteraan seseorang ditentukan oleh
pendapatan atau pengeluaran. Penggunaan pendapatan atau pengeluaran sebagai
pengukuran kesejahteraan merupakan hal yang umum. Beberapa ekonom dan non
ekonom tidak setuju dengan pengukuran kesejahteraan ini. Kondisi sosial lainnya
seperti lingkungan, kondisi kehidupan, tingkat kejahatan dan lain-lain dianggap
ikut mempengaruhi kesejahteraan (kemiskinan). Meski demikian, penelitian ini
akan menggunakan asumsi bahwa pendapatan atau pengeluaran digunakan sebagai
pengukuran kesejahteraan.
Isu
berikutnya adalah bagaimana membandingkan kesejahteraan. Untuk itu diasumsikan
bahwa setiap individu atau rumah tangga memiliki fungsi utilitas yang sama dan
rumah tangga ini homogen (pilihan serupa). Tanpa asumsi ini tidak mungkin
membandingkan utilitas diantara rumah tangga. Isu lainnya lebih ke operasional
dari pada konseptual, penggunaan konsumsi atau pendapatan dalam mengukur
kesejahteraan. Beberapa peneliti beranggapan bahwa belanja konsumsi lebih baik
dalam mengukur kesejahteraan baik dari perspektif teoritis maupun praktik.
Pertama, umumnya kesejahteraan didefinisikan sebagai utilitas yang diturunkan dari
konsumsi barang dan jasa. Kedua, berhubungan dengan argumen pertama bahwa rumah
tangga cenderung memperlancar konsumsi dengan ataupun tanpa menggunakan
tabungan untuk menjaga suatu standar kehidupan mapannya. Ketiga, dibanyak
negara berkembang data konsumsi lebih akurat dari pada data pendapatan (Deaton,
1993).
Pengukuran Tingkat kemiskinan
Pada
dasarnya, ada dua pendekatan untuk membangun pengukuran kemiskinan yaitu
aksiomatik dan kesejahteraan. Pendekatan aksiomatik menetapkan aksioma tertentu
dimana suatu indeks kemiskinan harus memuaskan dan mengevaluasi berbagai 13
indeks dalam hal kemampuannya untuk memuaskan aksioma-aksioma ini. Kontribusi
penting lainnya dalam perkembangan indeks kemiskinan datang dari Kakwani (1980)
dan Foster, Greer dan Thorbecke (selanjutnya disebut FGT) yang menggunakan
pendekatan campuran. Suatu indeks kemiskinan harus memuaskan aksioma-aksioma
berikut (lkhsan, 1999)
a.
Focus. Indeks kemiskinan harus berdasarkan pada pendapatan orang miskin.
b.
Monotonicity. Pengurangan pendapatan satu orang miskin di bawah garis
kemiskinan harus meningkatkan ukuran kemiskinan.
c.
Transfer. Transfer pendapatan satu orang miskin di bawah garis kemiskinan harus
meningkatkan level kemiskinan.
d.
Population simmetry. Jika dua atau lebih populasi yang identik disatukan,
indeks mestinya tidak berubah.
e.
Symmetric Suatu penyusunan kembali pendapatan dalam suatu distribusi seharusnya
tidak berpengaruh pada indeks.
METODE PENELITIAN
Untuk menyelesaikan makalah ini
penulis mencoba mencari banyak sumber agar karya tulis ini dapat menghasilkan
karya tulis yang maksimal. Untuk itu penulis memperbanyak referensi dari
internet karna begitu banyak pandangan pandangan yang diberikan untuk judul
makalah ini. Dan penulis juga mengambil sumber referensi dari buku diktat
kuliah yang di pinjam di perpustakaan Universitas Gunadarma.
Model yang akan digunakan untuk menganalisis pengaruh inflasi dan pengangguran
terhadap tingkat kemiskinan seperti juga model yang digunakan oleh
Cutler&Katz (1991). Model yang hampir sama juga digunakan oleh Oktaviani
(2001) dengan menambahkan variabel kontrol yakni variabel ekonomi lainnya dan
variabel demografis. Variabel ekonomi yang dijadikan variabel kontrol yaitu
koefisien. Sementara variabel demografis
yang dijadikan variabel kontrol yaitu pendidikan dan persentase penduduk usia
lanjut. Pada penelitian ini penulis tidak memasukkan rasio gini sebagai
variabel kontrol ekonomi tetapi menggunakan variabel pertumbuhan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain karena tidak tersedianya data koefisien
gini untuk tahun 2001-2003 (hanya tersedia untuk tahun 2002), juga disebabkan
karena sebagian besar ahli ekonomi berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi (PDB)
dapat mengejar keterbelakangan ekonomi. Untuk variabel demografis, penulis
hanya menggunakan variabel pendidikan (indikator yang digunakan angka melek
huruf). Hal ini disebabkan karena beberapa kali regresi yang penulis lakukan,
ternyata variabel persentase usia lanjut tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan kemiskinan.
DATA PENELITIAN
Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data publikasi BPS yang meliputi
data tingkat kemiskinan, tingkat inflasi, tingkat pengangguran, PDRB, dan angka
melek huruf. Dalam penelitian ini digunakan variabel tidak bebas yaitu tingkat
kemiskinan dan beberapa variabel bebas yaitu tingkat inflasi, dan beberapa
variabel bebas nya adalah kemiskinan, selain kemiskinan ini ada beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi hal lainnya itu adalah tingkat melek huruf dan kurang
terpenuhinya pembangunan secara merata. Tingkat pengangguran atau angka
pengangguran terbuka yaitu persentase perbandingan antara pencari kerja dengan
jumlah angkatan kerja. Pencari kerja adalah mereka yang belum memiliki
pekerjaan dalam seminggu sebelum pendataan. Angkatan kerja adalah penduduk 10
tahun keatas yang bekerja maupun yang sudah bekerja sebelumnya atau yang sedang
mencari pekerjaan dalam seminggu yang lalu, tingkat pengangguran.
PEMBAHASAN
Perkembangan Inflasi di Indonesia
Seperti
halnya yang terjadi pada negara-negara berkembang pada umumnya, fenomena
inflasi di Indonesia masih menjadi satu dari berbagai “penyakit” ekonomi makro
yang meresahkan pemerintah terlebih bagi masyarakat. Memang, menjelang akhir
pemerintahan Orde Baru (sebelum krisis moneter) angka inflasi tahunan dapat
ditekan sampai pada single digit, tetapi secara umum masih mengandung kerawanan
jika dilihat dari seberapa besar prosentase kelompok masyarakat golongan miskin
yang menderita akibat inflasi. Lebih-lebih setelah semakin berlanjutnya krisis moneter
yang kemudian diikuti oleh krisis ekonomi, yang menjadi salah satu dari
penyebab jatuhnya pemerintahan Orde Baru, angka inflasi cenderung meningkat
pesat (mencapai lebih dari 75 % pada tahun 1998), dan diperparah dengan semakin
besarnya presentase golongan masyarakat miskin. Sehingga bisa dikatakan, bahwa
meskipun angka inflasi di Indonesia 60 dalam katagori tinggi, tetapi dengan
meninjau presentase golongan masyarakat ekonomi bawah yang menderita akibat
inflasi cukup besar, maka sebenarnya dapat dikatakan bahwa inflasi di Indonesia
telah masuk dalam stadium awal dari hyperinflation.
Sumber-sumber
Inflasi di Indonesia
1.
Jumlah uang beredar
Menurut
sudut pandang kaum moneteris jumlah uang beredar adalah faktor utama yang
dituding sebagai penyebab timbulnya inflasi di setiap negara, tidak terkecuali
di Indonesia. Di Indonesia jumlah uang beredar ini lebih banyak diterjemahkan
dalam konsep narrow money ( M1 ). Hal ini terjadi karena masih adanya anggapan,
bahwa uang kuasi hanya merupakan bagian dari likuiditas perbankan. Sejak tahun
1976 presentase uang kartal yang beredar (48,7%) lebih kecil dari pada
presentase jumlah uang giral yang beredar (51,3%). Sehingga mengindikasikan
bahwa telah terjadi proses modernisasi di sektor moneter Indonesia. Juga,
mengindikasikan bahwa semakin sulitnya proses pengendalian jumlah uang beredar
di Indonesia, dan semakin meluasnya monetisasi dalam kegiatan perekonomian
subsistence, akibatnya memberikan kecenderungan meningkatnya laju inflasi.
Menurut data yang dihimpun dalam Laporan Bank Dunia, menunjukan laju
pertumbuhan rata-rata jumlah uang beredar di Indonesia pada periode tahun 1980-
1992 relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Dan,
tingkat inflasi Indonesia juga relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara
ASEAN lainnya (kecuali Filipina). Kenaikkan jumlah uang beredar di Indonesia
pada tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an lebih disebabkan oleh pertumbuhan
kredit likuiditas dan defisit anggaran belanja pemerintah. Pertumbuhan ini
dapat merupakan efek langsung dari kebijaksanaan Bank Indonesia dalam sektor
keuangan (terutama dalam hal penurunan reserve requirement).
2.
Defisit Anggaran Belanja Pemerintah
Seperti
halnya yang umum terjadi pada negara berkembang, anggaran belanja pemerintah
Indonesia pun sebenarnya mengalami defisit, meskipun Indonesia menganut prinsip
anggaran berimbang. Defisitnya anggaran belanja ini banyak kali disebabkan oleh
hal-hal yang menyangkut ketegaran struktural ekonomi Indonesia, yang acapkali
menimbulkan kesenjangan antara kemauan dan kemampuan untuk membangun. Selama
pemerintahan Orde Lama defisit anggaran belanja ini acapkali dibiayai dari
dalam negeri dengan cara melakukan pencetakan uang baru, mengingat orientasi
kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang inward looking policy, sehingga
menyebabkan tekanan inflasi yang hebat. Tetapi sejak era Orde Baru, defisit
anggaran belanja ini ditutup dengan pinjaman luar negeri yang nampaknya relatif
aman terhadap tekanan inflasi.
Data dibawah ini adalah data yang diambil dari data
bank Indonesia 2018 yang telah di minirisetkan dan data berikut adalah seperti:
Tahun
|
Jumlah Penduduk Miskin
(Juta Orang)
|
Persentase Penduduk
Miskin
|
Garis Kemiskinan
(Rp/Kapita/Bulan)
|
|||||
Kota
|
Desa
|
Kota+Desa
|
Kota
|
Desa
|
Kota+Desa
|
Kota
|
Desa
|
|
Maret 2011
|
11,05
|
18,97
|
30,02
|
9,23
|
15,72
|
12,49
|
253 016
|
213 395
|
September 2011
|
10.95
|
18.94
|
29.89
|
9.09
|
15.59
|
12.36
|
263 594
|
223 181
|
Maret 2012
|
10.65
|
18.49
|
29.13
|
8.78
|
15.12
|
11.96
|
267 408
|
229 226
|
September 2012
|
10.51
|
18.09
|
28.59
|
8.60
|
14.70
|
11.66
|
277 382
|
240 441
|
Maret 2013
|
10.33
|
17.74
|
28.07
|
8.39
|
14.32
|
11.37
|
289 042
|
253 273
|
September 2013
|
10.63
|
17.92
|
28.55
|
8.52
|
14.42
|
11.47
|
308 826
|
275 779
|
Maret 2014
|
10.51
|
17.77
|
28.28
|
8.34
|
14.17
|
11.25
|
318 514
|
286 097
|
September 2014
|
10.36
|
17.37
|
27.73
|
8.16
|
13.76
|
10.96
|
326 853
|
296 681
|
Maret 2015
|
10.65
|
17.94
|
28.59
|
8.29
|
14.21
|
11.22
|
342 541
|
317 881
|
September 2015
|
10.62
|
17.89
|
28.51
|
8.22
|
14.09
|
11.13
|
356 378
|
333 034
|
Maret 2016
|
10.34
|
17.67
|
28.01
|
7.79
|
14.11
|
10.86
|
364 527
|
343 647
|
September 2016
|
10.49
|
17.28
|
27.76
|
7.73
|
13.96
|
10.70
|
372 114
|
350 420
|
Maret 2017
|
10.67
|
17.10
|
27.77
|
7.72
|
13.93
|
10.64
|
385 621
|
361 496
|
September 2017
|
10.27
|
16.31
|
26.58
|
7.26
|
13.47
|
10.12
|
400 995
|
370 910
|
Data
diatas ini adalah data kemiskinan yang diambil dari BI tahun 2018, melalui SPSS
dan hasil olahan data mentah tersebut adalah sebagai berikut:
Pengaruh Inflasi Terhadap Kemiskinan
BPS mencatat
angka kemiskinan Indonesia sejak 7 tahun selalu mengalami penurunan, bisa
dilihat bahwa jumlah penduduk miskin dari tahun Maret 2011- September 2017
berhasil turun 3.44 juta menjadi 26,58 juta atau 10,12% orang miskin. Walau
mengalami penurunan, jumlah tersebut masih dianggap tinggi karena melihat
kenyataan bahwa masih banyaknya jumlah masyarakat yang masih menerima subsidi
untuk beras RasKin (Beras Miskin) dari pemerintah.
Kondisi di negara berkembang sendiri,
banyaknya arus modal asing deras dan mengalir lancar membanjiri, namun
menimbulkan masalah baru yaitu terjadinya ekses likuiditas valuta asing. Belum
lagi dampak inflasi yang terjadi di karena kan volatile food price yang
melanda beberapa negara berkembang yang tidak memiliki sumber daya memadai
untuk mengurangi volatilitas yang secara langsung maupun tidak yang dikarenakan
dampak dari adanya ketidakseimbangan gejolak perekonomian global.
Gambaran sekilas akan risiko terbesar
yang dihadapi dunia, adalah kenaikan masalah inflasi yang dipicu dari masalah
likuiditas dari ketidakseimbangan global dan kenaikan harga pangan dan energi.
Tentunya kenaikan inflasi global ini jika dibiarkan akan
menurunkan daya beli dan daya saing perekonomian. Berbagai cara untuk menanggulangi
inflasi diserukan, seperti halnya menaikan suku bunga kebijakan (policy rate)
atau kebijakan lain untuk mengelola terjadinya ekses likuiditas melalui pajak,
giro wajib minimum, atau memberi disentif bagi pemodal jangka pendek. Adapun
efek samping negatif dari kebijakan tersebut, yaitu ketidakseimbangan nilai
tukar dan hambatan dalam ekspansi ekonomi.
Indonesia, saat ini sedang menghadapi masalah inflasi
yang dinilai mulai memasuki batas level mengkuatirkan dan haruslah segera
dilakukan tindakan nyata. Walau banyak pakar ekonomi berpendapat bahwa inflasi
dapat diatasi dengan menaikan suku bunga acuan atau BI Rate. Tidak halnya
dengan Bank Indonesia, yang belum bersedia untuk menaikkan angka BI rate dan
tetap mempertahankan di kisaran level 6,5%. BI pun perpendapat inflasi yang
terjadi tersebut disebabkan bukan karena faktor moneter, namun bersumber dari
gangguan ketersediaan bahan pangan (supply shock) yang disebabkan anomali
cuaca. Kesejahteraan Indonesia terkait erat dengan masalah keuangan, energi dan
pangan ditambah dengan pentingnya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan
masalah pengentasan kemiskinan.
Indonesia mempunyai banyak potensi untuk bisa
meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang positif dan memuaskan sehinga bisa
menarik banyak investor untuk berinvestasi.
Untuk masalah
pangan dan energi, harus memperhatikan sisi pasokan, yaitu kenaikan produksi
adalah yang paling utama untuk diupayakan dengan biaya yang se-efisien mungkin.
Semua itu diseimbangkan juga dari sisi permintaan, yaitu upaya peningkatan daya
beli dan daya saing yang essensial, kebijakan fiskal dan moneter. Dari
data diatas dapat diketahui bahwa pada Maret 2011 jumlah penduduk miskin di kota sebesar 11.050.000 orang dengan persentase 9,23% dari
keseluruhan penduduk yang tinggal di kota dan pendapatan perkapita nya Rp. 253.016,- perbulan. Pada
bulan yang sama di Desa mengalami keadaan dimana 18.970.000 penduduk miskin
dengan persentase 15,72% dari jumlah keseluruhan penduduk di desa dan
pendapatan perkapitanya adalah Rp. 213.395,- perbulannya.
Pada Maret 2012 terdapat
10.650.000 jiwa yang mengalami kemiskinan di kota dengan persentase 8.78
keadaan ini tampak mengalami penurunan sekitar 500.000 jiwa dan pendapatan
perkapita pada saat itu adalah Rp. 267.408,- perbulan tampak naik sekitar Rp.
14.392. dan didesa juga tampak penurunan angka kemiskinan sekitar 480.000 jiwa
dan pendapatan perkapita didesa juga mengalami peningkatan sebesar Rp. 15.831,-
perkapita.
Pada Maret 2013 jumlah
kemiskinan tampak berkurang dari 10.650.000 jiwa menjadi 10.330.000 jiwa dengan
persentase dari 29.19% menjadi 28.07% dan pendapatan perkapita dari Rp. 253.273,-
perbulan menjadi Rp. 229.226 dan didesa jumlah kemiskinan juga berkurang mulai
dari 18.490.000 menjadi 17.740.000 penurun yang sangat signifikan dengan
pendapatan perkapita yang menaik drastis mulai dari Rp. 229.226 menjadi Rp.
253.273,- perbulannya.
Pada Maret 2014 jumlah
penduduk miskin di kota tampak meningkat dari 10.330.000 menjadi 10.510.000
mengalami kenaikan 210.000 jiwa. Dengan persentase 8.34% namun pendapatan perkapita dikota juga sangat
meningkat Rp. 318.514 hal ini disebabkan oleh meningkatnya inflasi di
Indonesia. Didesa kemiskinan juga meningkat dari 17.740.000 menjadi 17.770.000
jiwa dengan persentase 8,43% dari seluruh penduduk di desa dan pendapatan
perkapita sebesar Rp. 286.097 perbulan.
Pada Maret 2015 jumlah
penduduk miskin meningkat lagi menjadi 10.650.000 jiwa dengan persentase 8,29%
dan pendapatan perkapita Rp.342.541 perbulan dan didesa juga mengalami kenaikan
jumlah kemiskinan menjadi 17.940.000 jiwa dengan persentasi 14.21% dari seluruh penduduk dan pendapatan perkapita
sebesar Rp. 317.881,- perbulan.
Pada Maret 2016
mengalami penurunan yang sangat signifikan menjadi 10.340.000 jiwa dengan
persentase 7,79% dan pendapatan perkapitanya Rp. 364.527,- perbulannya dan
didesa juga menurun menjadi 17.670.000 jiwa dengan persentase 10,86% dengan
pendapatan perkapita sebesar Rp. 343.647 perbulannya. Hal ini sangat memacu
peningkatan pertumbuhan pembangunan.
Pada Maret 2017 jumlah
penduduk miskin meningkat drastis sebesar 330.000 jiwa dari sebelumnya dan
menjadi 10.670.000 jiwa dengan persentase 7.72% dan pendapatan perkapita
Rp.385.621 perbulannya. Dan didesa
mengalami penurunan yang baik sebesar 560.000 jiwa dari sebelumnya dan
menjadi 17.100.000 jiwa dengan persentase 13.93% dengan pendapatan perkapitanya
Rp. 361.496 perbulan.
Dari data diatas tampak walaupun pendapatan perkapita penduduk
selalu mengalami peningkatan belum tentu dapat mengurangi jumlah penduduk
miskin. Hal ini disebabkan oleh inflasi yang belum stabil dan sangat
mempengaruhi pertumbuhan penduduk miskin. Selain data diatas diambil juga
kesimpulan tentang data tersebut adalah:
Pengendalian Inflasi di
Indonesia
Sebagaimana
halnya yang umum terjadi pada negara – negara berkembang, inflasi di Indonesia
relatif lebih banyak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat struktural ekonomi
bila dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat monetary policies. Sehingga bisa
dikatakan, bahwa pengaruh dari cosh push inflation lebih besar dari pada demand
pull inflation. Memang dalam periode tahun-tahun tertentu, misalnya pada saat
terjadinya oil booming, tekanan inflasi di Indonesia disebabkan meningkatnya
jumlah uang beredar. Tetapi hal tersebut tidak dapat mengabaikan adanya
pengaruh yang bersifat struktural ekonomi, sebab pada periode tersebut, masih
terjadi kesenjangan antara penawaran agregat dengan permintaan agregat,
contohnya di sub sektor pertanian, yang dapat meningkatkan derajat inflasi.
Pada umumnya pemerintah Indonesia lebih banyak menggunakan pendekatan moneter
dalam upaya mengendalikan tingkat harga umum. Pemerintah Indonesia lebih senang
menggunakan instrumen moneter sebagai alat untuk meredam inflasi, misalnya
dengan open market mechanism atau reserve requirement. Tetapi perlu diingat,
bahwa pendekatan moneter lebih banyak dipakai untuk mengatasi inflasi dalam
jangka pendek, dan sangat baik diterapkan peda negara-negara yang telah maju
perekonomiannya, bukan pada negara berkembang yang masih memiliki structural
bottleneck. Jadi, apabila pendekatan moneter ini dipakai sebagai alat utama
dalam mengendalikan inflasi di negara berkembang, maka tidak akan dapat
menyelesaikan problem inflasi di negara berkembang yang umumnya
berkarakteristik jangka panjang. Seperti halnya yang terjadi di Indonesia pada
saat krisis moneter yang selanjutnya menjadi krisis ekonomi, inflasi di
Indonesia dipicu oleh kenaikan harga komoditi impor (imported inflation) dan
membengkaknya hutang luar negeri akibat terdepresiasinya nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika dan mata uang asing lainnya.
Akibatnya,
untuk mengendalikan tekanan inflasi, maka terlebih dahulu harus dilakukan
penstabilan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dolar Amerika.
Dalam menstabilkan nilai kurs, pemerintah Indonesia cenderung lebih banyak
memainkan instrumen moneter melalui otoritas moneter dengan tight money policy
yang diharapkan selain dapat menarik minat para pemegang valuta asing untuk
menginvestasikan modalnya ke Indonesia melalui deposito, juga dapat
menstabilkan tingkat harga umum. Tight money policy yang dilakukan dengan cara
menaikkan tingkat suku bunga SBI (melalui open market mechanism) sangat tinggi,
pada satu sisi akan efektif untuk mengurangi money suplly, tetapi di sisi lain
akan meningkatkan suku bunga kredit untuk sektor riil. Akibatnya, akan
menyebabkan timbulnya cost push inflation karena adanya interest rate-price
spiral. Apabila tingkat suku bunga (deposito) perbankan sudah terlalu tinggi,
sehingga dana produktif (dana untuk berproduksi atau berusaha) yang ada di
masyarakat ikut terserap ke perbankan, maka akan dapat menyebabkan timbulnya
stagnasi atau bahkan penurunan output produksi nasional (disebut dengan Cavallo
effect). Lebih lagi bila sampai terjadi negatif spread pada dunia perbankan
nasional, maka bukan saja menimbulkan kerusakan pada sektor riil, tetapi juga
kerusakan pada industri perbankan nasional (sektor moneter). Jika kebijaksanaan
ini terus dilakukan oleh pemerintah dalam jangka waktu menengah atau panjang,
maka akan terjadi depresi ekonomi, akibatnya struktur perekonomian nasional
akan rusak. Jika demikian halnya, maka sebaiknya kebijaksanaan pengendalian
inflasi bukan hanya dilakukan melalui konsep kaum moneterist saja, tetapi juga
dengan memperhatikan cara pandang kaum structuralist, yang lebih memandang
perlunya mengatasi hambatan-hambatan struktural yang ada.
KESIMPULAN
Masalah
inflasi di Indonesia ternyata bukan saja merupakan fenomena jangka pendek,
tetapi juga merupakan fenomena jangka panjang. Dalam arti, bahwa inflasi di
Indonesia bukan semata-mata hanya disebabkan oleh gagalnya pelaksanaan
kebijaksanaan di sektor moneter oleh pemerintah, yang seringkali dilakukan
untuk tujuan menstabilkan fluktuasi tingkat harga umum dalam jangka pendek,
tetapi juga mengindikasikan masih adanya hambatan-hambatan struktural dalam
perekonomian Indonesia yang belum sepenuhnya dapat diatasi. Apabila mengacu
pada usaha pengeliminasian hambatan-hambatan struktural tersebut, maka mau
tidak mau harus memperhatikan dengan seksama pembangunan ekonomi di sektor
riil. Dengan melakukan pembenahan di sektor riil secara tepat, bahkan mungkin
sampai pada tahap messo dan micro ekonomi, maka kemantapan fundamental ekonomi
Indonesia dapat diperkokoh. Defisit APBN; peningkatan cadangan devisa;
pembenahan sektor pertanian khususnya pada sub sektor pangan; pembenahan
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi posisi penawaran agregat merupakan
hal-hal yang perlu mendapatkan penanganan yang serius untuk dapat menekan
inflasi ke tingkat yang serendah mungkin di Indonesia, disamping tentunya
pengelolaan tepat dan pembenahan di sektor moneter.
Inflasi
dan kemiskinan berpengaruh signifikan dan searah terhadap jumlah kemiskinan.
Peningkatan inflasi dan pengangguran akan mengakibatkan peningkatan jumlah
penduduk miskin. Variabel kontrol pendidikan juga menunjukkan hubungan yang
signifikan dengan kemiskinan dimana peningkatan dalam angka melek huruf yang
digunakan sebagai indikator pendidikan menunjukkan penurunan dalam jumlah
kemiskinan di Indonesia. Sementara pertumbuhan PDRB yang diharapkan dapat
mengurangi jumlah kemiskinan, untuk periode penelitian ini tidak mampu
mengurangi jumlah kemiskinan. Perhitungan kemiskinan dengan menggunakan poverty
gap index menunjukkan bahwa inflasi dan pengangguran juga berpengaruh
signifikan dan searah dengan melebarnya jurang antara rata-rata
pendapatan/pengeluaran masyarakat miskin dan garis kemiskinan. Peningkatan
inflasi dan pengangguran mengakibatkan semakin besarnya jurang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Boediono
(1997), Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No: 2 ; Ekonomi Makro, edisi
keempat; Yogyakarta, BPFE.
Cavanese,
A. J., The Structuralist Explanation in the Theory of Inflation, Word
Development, No. 10 halaman 523-529.
Dalal,
M.N., Schacher, G. (July 1988), Transmission of International Inflation to
India : A Structural Analisis, The Journal of Developing Areas, No. 23, halaman
85-104.
Friedman, Milton (March 1984), The Role of
Monetary Policy, American Economic Review, halaman 57-71. Fry, M.J., (Maret
1971), Money and Capital or Financia
Komentar
Posting Komentar