Jurnal Ekonomi dan Pendidikan


INFLASI  DI  INDONESIA, DAN  DAMPAKNYA
TERHADAP KEMISKINAN
DI INDONESIA

¹Dita Natania Harefa, ²Redika Sitompul, ³Dennisa Simanjuntak, ⁴Elfrida Purba, ⁵Stevi Jesika Siagian
Email: ¹ditanatania88@gmail.com, ²redikasitompul@gmail.com
Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Medan

Abstrak
Krisis moneter yang melanda negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, telah menyebabkan rusaknya sendi-sendi perekonomian nasional. Krisis moneter menyebabkan terjadinya imported inflation sebagai akibat dari terdepresiasinya secara tajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, yang selanjutnya mengakibatkan tekanan inflasi yang berat bagi Indonesia. Fenomena inflasi di Indonesia sebenarnya semata-mata bukan merupakan suatu fenomena jangka pendek saja dan yang terjadi secara situasional, tetapi seperti halnya yang umum terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang lainnya, masalah inflasi di Indonesia lebih pada masalah inflasi jangka panjang karena masih terdapatnya hambatan-hambatan struktural dalam perekonomian negara. Selain berdampak pada harga barang yang tinggi fenomena inflasi ini juga berdampak aktif terhadap kemiskinan dan kesenjangan social politi,dan fenomena budaya lainnya terhadap masyarakat dalam negeri.presentasi pengaruh infalasi terhadap kemiskinan dapat dilihat dari beberapa data statistic.
Kata kunci: Inflasi, Kemiskinan, dan Kesenjangan Sosial

Abstract
The monetary crisis that hit ASEAN countries, including Indonesia, has caused damage to the joints of the national economy. The monetary crisis caused imported inflation as a result of the sharp depreciation of the rupiah exchange rate against foreign currencies, which subsequently resulted in severe inflationary pressures for Indonesia. The phenomenon of inflation in Indonesia is actually not merely a short-term phenomenon and that occurs situationally, but as is common in other developing countries, the problem of inflation in Indonesia is more about the problem of long-term inflation because there are still obstacles structural constraints in the country's economy. In addition to having an impact on goods prices, the high phenomenon of inflation also has an active impact on social polity poverty and inequality, and other cultural phenomena towards the domestic community. The presentation of the effect of inflation on poverty can be seen from several statistical data.
Keywords: Inflation, Poverty, and Social Inequality


PENDAHULUAN
       Krisis moneter yang melanda negara-negara anggota ASEAN, telah memporakporandakan struktur perekonomian negara-negara tersebut. Bahkan bagi Indonesia, akibat dari terjadinya krisis moneter yang kemudian berlanjut pada krisis ekonomi dan politik ini, telah menyebabkan kerusakan yang cukup signifikan terhadap sendi sendi perekonomian nasional. Krisis moneter yang terjadi di Indonesia menyebabkan banyak lonjakan harga barang-barang impor ini, menyebabkan harga hampir semua barang yang dijual di dalam negeri meningkat baik secara langsung maupun secara tidak langsung, terutama pada barang yang memiliki kandungan barang impor yang tinggi.
 Karena gagal mengatasi krisis moneter dalam jangka waktu yang pendek, bahkan cenderung berlarut-larut, menyebabkan kenaikan tingkat harga terjadi secara umum dan semakin berlarut-larut. Akibatnya, angka inflasi nasional melonjak cukup tajam. Lonjakan yang cukup tajam terhadap angka inflasi nasional yang tanpa diimbangi oleh peningkatan pendapatan nominal masyarakat, telah menyebabkan pendapatan riil rakyat semakin merosot. Juga, pendapatan per kapita penduduk merosot relatif sangat cepat, yang mengakibatkan Indonesia kembali masuk dalam golongan negara miskin. Hal ini telah menyebabkan semakin beratnya beban hidup masyarakat, khususnya pada masyarakat strata ekonomi bawah. Selain beberapa hal diatas ada beberapa masalah yang dihadapi oleh Negara Indonesia yaitu adalah kesenjangan budaya sosial, politik, dan kekerasan terhadap perekonomian.
      Pemerintah adalah sebagai kepala suatu perekonomian yang mengatur dan menjalankan perekonomian di Indonesia. Tentu saja dalam mengaturnya pemerintah mengalami kesulitan dimana untuk mencapai tujuan yang memuaskan. Salah satu kesulitan yang terus menerus mendapat perhatian pemerintah Indonesia  adalah masalah inflasi dan kemiskinan. Tujuan jangka panjang pemerintah adalah menjaga agar tingkat inflasi yang berlaku berada pada tingkat yang sangat rendah. Tingkat inflasi nol persen bukanlah tujuan utama kebijakan pemerintah karena ia adalah sukar untuk dicapai. Yang paling penting untuk diusahakan adalah menjaga agar tingkat inflasi tetap rendah. Begitu pula efeknya terhadap tingkat kemiskinan akan membuat rakyat menderita. Disini penulis akan mencoba mencari dampak yang menyebabkan dan upaya yang akan dilakukan untuk pengentasan kemiskinan.
       Salah satu usaha yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi kemiskinan di Indonesia adalah dengan cara melakukan pembangunan, dengan cara melakukan pembangunan khusunya pada daerah terpencil maka membantu pemerintah untuk mengatasi kemiskinan dengan melakukan pembangunan maka akan mempermudah dalam masyarakat melaksanakan pembangunan.
Adapun beberapa hal yang mau dilihat:
1.      Penelitian ini dibuat dengan hasil perumusan masalah dari berbagai sumber baik dari buku, internet, maupun hasil pandangan orang. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan pengetahuan tentang inflasi dan kemiskinan kepada pembaca baik itu pengertian inflasi, macam inflasi, dampaknya yang merupakan kemiskinan.
2.      Pengaruh inflasi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia, Pengaruh pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia, Pengaruh variabel ekonomi lainnya yaitu pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia
3.      Pengaruh variabel demografis yaitu pendidikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia .          
TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh antara variabel-variabel ekonomi makro yaitu inflasi dan pengangguran terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Selain itu juga akan dilihat adanya pengaruh variabel ekonomi yaitu pertumbuhan PDRB dan pengaruh variabel demografi berupa pendidikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia pada tahun 2018, sesuai dengan data yang ada dalam SPSS, yaitu inflasi dan terhadap kemiskinan yang diangkat dari data 2018.
TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teoritis
Pengukuran tingkat kemiskinan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya penting untuk menunjukkan bagaimana kemajuan ekonomi dapat meningkatkan standar kehidupan dan kesejahteraan masyarakat serta bagaimana pengaruh dari berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat miskin. Pengangguran dapat mempengaruhi kemiskinan dengan berbagai cara. Jika rumah tangga tersebut memiliki batasan likuiditas (yang berarti bahwa konsumsi saat ini sangat dipengaruhi oleh pendapatan saat ini) maka pengangguran akan secara langsung mempengaruhi kemiskinan baik yang diukur dari sisi pendapatan (income poverty rate) maupun kemiskinan yang diukur dari sisi konsumsi (consumption poverty rate).
Jika rumah tangga tersebut tidak menghadapi batasan likuiditas (yang berarti bahwa konsumsi saat ini tidak terlalu dipengaruhi oleh pendapatan saat ini) maka peningkatan pengangguran akan menyebabkan peningkatan kemiskinan dalam jangka panjang, tetapi tidak terlalu berpengaruh dalam jangka pendek. Secara umum, sebagian besar rumah tangga tergantung pada upah atau gaji yang diterimanya, sehingga terjadinya pengangguran akan menyebabkan hilangnya sebagian besar pendapatan. Lebih jauh, masalah pengangguran ini lebih sering terjadi pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah sehingga menyebabkan mereka harus hidup di bawah garis kemiskinan.
Tinjauan Teoritis Tentang Inflasi
Beberapa penelitian yang melihat hubungan kemiskinan dengan pengangguran dan inflasi telah dilakukan oleh sejumlah peneliti antara lain
a. Cutler & Katz (1991) dan Powers (1995a) menemukan hubungan yang kuat antara kemiskinan dengan berbagai variabel ekonomi makro. Penelitian-penelitian tersebut juga membuktikan bahwa tingkat pengangguran dan inflasi keduanya berhubungan positif dengan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan; semakin tinggi tingkat inflasi dan pengangguran semakin besar tingkat kemiskinan. Juga ditemukan bahwa pengangguran memiliki pengaruh yang kuat terhadap tingkat kemiskinan sementara inflasi hanya memberikan pengaruh yang relatif kecil.
b. Powers (1995b), menemukan ternyata ada hubungan yang signifikan dan positif antara inflasi dan tingkat kemiskinan bila tingkat kemiskinan tersebut diukur dari sisi konsumsi (consumption poverty rate)
c. Oktaviani (2001), yang meneliti pengaruh inflasi dan pengangguran terhadap kemiskinan di perkotaan Indonesia menemukan bahwa inflasi dan pengangguran bersama-sama dengan variabel ekonomi lainnya serta variabel demografis memberikan pengaruh yang signifikan terhadap angka kemiskinan baik yang dihitung melalui head count index (persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan), poverty gap index (rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan), maupun distributionally sensitive index (penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin).
d. Hoover & Wallace (2003), menemukan bahwa tingkat kemiskinan sangat sensitif terhadap kondisi ekonomi, dimana terjadinya  peningkatan pengangguran. Fenomena struktural yang disebabkan oleh kesenjangan atau kendala struktural dalam perekonomian di negara berkembang, sering disebut dengan structural bottlenecks. Strucktural bottleneck terutama terjadi dalam tiga hal, yaitu :
1. Supply dari sektor pertanian (pangan) tidak elastis. Hal ini dikarenakan pengelolaan dan pengerjaan sektor pertanian yang masih menggunakan metode dan teknologi yang sederhana, sehingga seringkali terjadi supply dari sektor pertanian domestik tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaannya.
2. Cadangan valuta asing yang terbatas (kecil) akibat dari pendapatan ekspor yang lebih kecil daripada pembiayaan impor. Keterbatasan cadangan valuta asing ini menyebabkan kemampuan untuk mengimpor barang-barang baik bahan baku, input antara, maupun barang modal yang sangat dibutuhkan untuk pembangunan sektor industri menjadi terbatas pula. Belum lagi ditambah dengan adanya demonstration effect yang dapat menyebabkan perubahan pola konsumsi masyarakat. Akibat dari lambatnya laju pembangunan sektor industri, seringkali menyebabkan laju pertumbuhan supply barang tidak dapat mengimbangi laju pertumbuhan permintaan.
3. Pengeluaran pemerintah terbatas. Hal ini disebabkan oleh sektor penerimaan rutin yang terbatas, yang tidak cukup untuk membiayai pembangunan, akibatnya timbul defisit anggaran belanja, sehingga seringkali menyebabkan dibutuhkannya pinjaman dari luar negeri ataupun mungkin pada umumnya dibiayai dengan pencetakan uang (printing of money) yang menyebabkan peningkatan kemiskinan.



Tinjauan Teoritis Tentang Kemiskinan
Pengertian kemiskinan
Titik awal dalam pengukuran ekonomi kesejahteraan adalah suatu fungsi utilitas yang menyatakan bahwa mengkonsumsi lebih banyak barang dan jasa akan meningkatkan kesejahteraan, ini menyiratkan bahwa kesejahteraan seseorang ditentukan oleh pendapatan atau pengeluaran. Penggunaan pendapatan atau pengeluaran sebagai pengukuran kesejahteraan merupakan hal yang umum. Beberapa ekonom dan non ekonom tidak setuju dengan pengukuran kesejahteraan ini. Kondisi sosial lainnya seperti lingkungan, kondisi kehidupan, tingkat kejahatan dan lain-lain dianggap ikut mempengaruhi kesejahteraan (kemiskinan). Meski demikian, penelitian ini akan menggunakan asumsi bahwa pendapatan atau pengeluaran digunakan sebagai pengukuran kesejahteraan.
Isu berikutnya adalah bagaimana membandingkan kesejahteraan. Untuk itu diasumsikan bahwa setiap individu atau rumah tangga memiliki fungsi utilitas yang sama dan rumah tangga ini homogen (pilihan serupa). Tanpa asumsi ini tidak mungkin membandingkan utilitas diantara rumah tangga. Isu lainnya lebih ke operasional dari pada konseptual, penggunaan konsumsi atau pendapatan dalam mengukur kesejahteraan. Beberapa peneliti beranggapan bahwa belanja konsumsi lebih baik dalam mengukur kesejahteraan baik dari perspektif teoritis maupun praktik. Pertama, umumnya kesejahteraan didefinisikan sebagai utilitas yang diturunkan dari konsumsi barang dan jasa. Kedua, berhubungan dengan argumen pertama bahwa rumah tangga cenderung memperlancar konsumsi dengan ataupun tanpa menggunakan tabungan untuk menjaga suatu standar kehidupan mapannya. Ketiga, dibanyak negara berkembang data konsumsi lebih akurat dari pada data pendapatan (Deaton, 1993).
Pengukuran Tingkat kemiskinan
Pada dasarnya, ada dua pendekatan untuk membangun pengukuran kemiskinan yaitu aksiomatik dan kesejahteraan. Pendekatan aksiomatik menetapkan aksioma tertentu dimana suatu indeks kemiskinan harus memuaskan dan mengevaluasi berbagai 13 indeks dalam hal kemampuannya untuk memuaskan aksioma-aksioma ini. Kontribusi penting lainnya dalam perkembangan indeks kemiskinan datang dari Kakwani (1980) dan Foster, Greer dan Thorbecke (selanjutnya disebut FGT) yang menggunakan pendekatan campuran. Suatu indeks kemiskinan harus memuaskan aksioma-aksioma berikut (lkhsan, 1999)
a. Focus. Indeks kemiskinan harus berdasarkan pada pendapatan orang miskin.
b. Monotonicity. Pengurangan pendapatan satu orang miskin di bawah garis kemiskinan harus meningkatkan ukuran kemiskinan.
c. Transfer. Transfer pendapatan satu orang miskin di bawah garis kemiskinan harus meningkatkan level kemiskinan.
d. Population simmetry. Jika dua atau lebih populasi yang identik disatukan, indeks mestinya tidak berubah.
e. Symmetric Suatu penyusunan kembali pendapatan dalam suatu distribusi seharusnya tidak berpengaruh pada indeks.
METODE PENELITIAN
Untuk menyelesaikan makalah ini penulis mencoba mencari banyak sumber agar karya tulis ini dapat menghasilkan karya tulis yang maksimal. Untuk itu penulis memperbanyak referensi dari internet karna begitu banyak pandangan pandangan yang diberikan untuk judul makalah ini. Dan penulis juga mengambil sumber referensi dari buku diktat kuliah yang di pinjam di perpustakaan Universitas Gunadarma. Model yang akan digunakan untuk menganalisis pengaruh inflasi dan pengangguran terhadap tingkat kemiskinan seperti juga model yang digunakan oleh Cutler&Katz (1991). Model yang hampir sama juga digunakan oleh Oktaviani (2001) dengan menambahkan variabel kontrol yakni variabel ekonomi lainnya dan variabel demografis. Variabel ekonomi yang dijadikan variabel kontrol yaitu koefisien. Sementara  variabel demografis yang dijadikan variabel kontrol yaitu pendidikan dan persentase penduduk usia lanjut. Pada penelitian ini penulis tidak memasukkan rasio gini sebagai variabel kontrol ekonomi tetapi menggunakan variabel pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Selain karena tidak tersedianya data koefisien gini untuk tahun 2001-2003 (hanya tersedia untuk tahun 2002), juga disebabkan karena sebagian besar ahli ekonomi berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi (PDB) dapat mengejar keterbelakangan ekonomi. Untuk variabel demografis, penulis hanya menggunakan variabel pendidikan (indikator yang digunakan angka melek huruf). Hal ini disebabkan karena beberapa kali regresi yang penulis lakukan, ternyata variabel persentase usia lanjut tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kemiskinan.
DATA PENELITIAN
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data publikasi BPS yang meliputi data tingkat kemiskinan, tingkat inflasi, tingkat pengangguran, PDRB, dan angka melek huruf. Dalam penelitian ini digunakan variabel tidak bebas yaitu tingkat kemiskinan dan beberapa variabel bebas yaitu tingkat inflasi, dan beberapa variabel bebas nya adalah kemiskinan, selain kemiskinan ini ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hal lainnya itu adalah tingkat melek huruf dan kurang terpenuhinya pembangunan secara merata. Tingkat pengangguran atau angka pengangguran terbuka yaitu persentase perbandingan antara pencari kerja dengan jumlah angkatan kerja. Pencari kerja adalah mereka yang belum memiliki pekerjaan dalam seminggu sebelum pendataan. Angkatan kerja adalah penduduk 10 tahun keatas yang bekerja maupun yang sudah bekerja sebelumnya atau yang sedang mencari pekerjaan dalam seminggu yang lalu, tingkat  pengangguran.
              PEMBAHASAN
Perkembangan Inflasi di Indonesia
Seperti halnya yang terjadi pada negara-negara berkembang pada umumnya, fenomena inflasi di Indonesia masih menjadi satu dari berbagai “penyakit” ekonomi makro yang meresahkan pemerintah terlebih bagi masyarakat. Memang, menjelang akhir pemerintahan Orde Baru (sebelum krisis moneter) angka inflasi tahunan dapat ditekan sampai pada single digit, tetapi secara umum masih mengandung kerawanan jika dilihat dari seberapa besar prosentase kelompok masyarakat golongan miskin yang menderita akibat inflasi. Lebih-lebih setelah semakin berlanjutnya krisis moneter yang kemudian diikuti oleh krisis ekonomi, yang menjadi salah satu dari penyebab jatuhnya pemerintahan Orde Baru, angka inflasi cenderung meningkat pesat (mencapai lebih dari 75 % pada tahun 1998), dan diperparah dengan semakin besarnya presentase golongan masyarakat miskin. Sehingga bisa dikatakan, bahwa meskipun angka inflasi di Indonesia 60 dalam katagori tinggi, tetapi dengan meninjau presentase golongan masyarakat ekonomi bawah yang menderita akibat inflasi cukup besar, maka sebenarnya dapat dikatakan bahwa inflasi di Indonesia telah masuk dalam stadium awal dari hyperinflation.
Sumber-sumber Inflasi di Indonesia
1.      Jumlah uang beredar
Menurut sudut pandang kaum moneteris jumlah uang beredar adalah faktor utama yang dituding sebagai penyebab timbulnya inflasi di setiap negara, tidak terkecuali di Indonesia. Di Indonesia jumlah uang beredar ini lebih banyak diterjemahkan dalam konsep narrow money ( M1 ). Hal ini terjadi karena masih adanya anggapan, bahwa uang kuasi hanya merupakan bagian dari likuiditas perbankan. Sejak tahun 1976 presentase uang kartal yang beredar (48,7%) lebih kecil dari pada presentase jumlah uang giral yang beredar (51,3%). Sehingga mengindikasikan bahwa telah terjadi proses modernisasi di sektor moneter Indonesia. Juga, mengindikasikan bahwa semakin sulitnya proses pengendalian jumlah uang beredar di Indonesia, dan semakin meluasnya monetisasi dalam kegiatan perekonomian subsistence, akibatnya memberikan kecenderungan meningkatnya laju inflasi. Menurut data yang dihimpun dalam Laporan Bank Dunia, menunjukan laju pertumbuhan rata-rata jumlah uang beredar di Indonesia pada periode tahun 1980- 1992 relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Dan, tingkat inflasi Indonesia juga relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya (kecuali Filipina). Kenaikkan jumlah uang beredar di Indonesia pada tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an lebih disebabkan oleh pertumbuhan kredit likuiditas dan defisit anggaran belanja pemerintah. Pertumbuhan ini dapat merupakan efek langsung dari kebijaksanaan Bank Indonesia dalam sektor keuangan (terutama dalam hal penurunan reserve requirement).
2.      Defisit Anggaran Belanja Pemerintah
Seperti halnya yang umum terjadi pada negara berkembang, anggaran belanja pemerintah Indonesia pun sebenarnya mengalami defisit, meskipun Indonesia menganut prinsip anggaran berimbang. Defisitnya anggaran belanja ini banyak kali disebabkan oleh hal-hal yang menyangkut ketegaran struktural ekonomi Indonesia, yang acapkali menimbulkan kesenjangan antara kemauan dan kemampuan untuk membangun. Selama pemerintahan Orde Lama defisit anggaran belanja ini acapkali dibiayai dari dalam negeri dengan cara melakukan pencetakan uang baru, mengingat orientasi kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang inward looking policy, sehingga menyebabkan tekanan inflasi yang hebat. Tetapi sejak era Orde Baru, defisit anggaran belanja ini ditutup dengan pinjaman luar negeri yang nampaknya relatif aman terhadap tekanan inflasi.

Data dibawah ini adalah data yang diambil dari data bank Indonesia 2018 yang telah di minirisetkan dan data berikut adalah seperti:
Tahun
Jumlah Penduduk Miskin (Juta Orang)
Persentase Penduduk Miskin
Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bulan)
Kota
Desa
Kota+Desa
Kota
Desa
Kota+Desa
Kota
Desa
Maret 2011
11,05
18,97
30,02
9,23
15,72
12,49
253 016
213 395
September 2011
10.95
18.94
29.89
9.09
15.59
12.36
263 594
223 181
Maret 2012
10.65
18.49
29.13
8.78
15.12
11.96
267 408
229 226
September 2012
10.51
18.09
28.59
8.60
14.70
11.66
277 382
240 441
Maret 2013
10.33
17.74
28.07
8.39
14.32
11.37
289 042
253 273
September 2013
10.63
17.92
28.55
8.52
14.42
11.47
308 826
275 779
Maret 2014
10.51
17.77
28.28
8.34
14.17
11.25
318 514
286 097
September 2014
10.36
17.37
27.73
8.16
13.76
10.96
326 853
296 681
Maret 2015
10.65
17.94
28.59
8.29
14.21
11.22
342 541
317 881
September 2015
10.62
17.89
28.51
8.22
14.09
11.13
356 378
333 034
Maret 2016
10.34
17.67
28.01
7.79
14.11
10.86
364 527
343 647
September 2016
10.49
17.28
27.76
7.73
13.96
10.70
372 114
350 420
Maret 2017
10.67
17.10
27.77
7.72
13.93
10.64
385 621
361 496
September 2017
10.27
16.31
26.58
7.26
13.47
10.12
400 995
370 910


Data diatas ini adalah data kemiskinan yang diambil dari BI tahun 2018, melalui SPSS dan hasil olahan data mentah tersebut adalah sebagai berikut:
Pengaruh Inflasi Terhadap Kemiskinan
BPS mencatat angka kemiskinan Indonesia sejak 7 tahun selalu mengalami penurunan, bisa dilihat bahwa jumlah penduduk miskin dari tahun Maret 2011- September 2017 berhasil turun 3.44 juta menjadi 26,58 juta atau 10,12% orang miskin. Walau mengalami penurunan, jumlah tersebut masih dianggap tinggi karena melihat kenyataan bahwa masih banyaknya jumlah masyarakat yang masih menerima subsidi untuk beras RasKin (Beras Miskin) dari pemerintah.
Kondisi di negara berkembang sendiri, banyaknya arus modal asing deras dan mengalir lancar membanjiri, namun menimbulkan masalah baru yaitu terjadinya ekses likuiditas valuta asing. Belum lagi dampak inflasi yang terjadi di karena kan volatile food price yang melanda beberapa negara berkembang yang tidak memiliki sumber daya memadai untuk mengurangi volatilitas yang secara langsung maupun tidak yang dikarenakan dampak dari adanya ketidakseimbangan gejolak perekonomian global.
Gambaran sekilas akan risiko terbesar yang dihadapi dunia, adalah kenaikan masalah inflasi yang dipicu dari masalah likuiditas dari ketidakseimbangan global dan kenaikan harga pangan dan energi.
Tentunya kenaikan inflasi global ini jika dibiarkan akan menurunkan daya beli dan daya saing perekonomian. Berbagai cara untuk menanggulangi inflasi diserukan, seperti halnya menaikan suku bunga kebijakan (policy rate) atau kebijakan lain untuk mengelola terjadinya ekses likuiditas melalui pajak, giro wajib minimum, atau memberi disentif bagi pemodal jangka pendek. Adapun efek samping negatif dari kebijakan tersebut, yaitu ketidakseimbangan nilai tukar dan hambatan dalam ekspansi ekonomi.
Indonesia, saat ini sedang menghadapi masalah inflasi yang dinilai mulai memasuki batas level mengkuatirkan dan haruslah segera dilakukan tindakan nyata. Walau banyak pakar ekonomi berpendapat bahwa inflasi dapat diatasi dengan menaikan suku bunga acuan atau BI Rate. Tidak halnya dengan Bank Indonesia, yang belum bersedia untuk menaikkan angka BI rate dan tetap mempertahankan di kisaran level 6,5%. BI pun perpendapat inflasi yang terjadi tersebut disebabkan bukan karena faktor moneter, namun bersumber dari gangguan ketersediaan bahan pangan (supply shock) yang disebabkan anomali cuaca. Kesejahteraan Indonesia terkait erat dengan masalah keuangan, energi dan pangan ditambah dengan pentingnya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan masalah pengentasan kemiskinan.
Indonesia mempunyai banyak potensi untuk bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang positif dan memuaskan sehinga bisa menarik banyak investor untuk berinvestasi.
Untuk masalah pangan dan energi, harus memperhatikan sisi pasokan, yaitu kenaikan produksi adalah yang paling utama untuk diupayakan dengan biaya yang se-efisien mungkin. Semua itu diseimbangkan juga dari sisi permintaan, yaitu upaya peningkatan daya beli dan daya saing yang essensial, kebijakan fiskal dan moneter. Dari data diatas dapat diketahui bahwa pada Maret 2011 jumlah penduduk  miskin di kota sebesar  11.050.000 orang dengan persentase 9,23% dari keseluruhan penduduk yang tinggal di kota dan pendapatan perkapita nya Rp. 253.016,- perbulan. Pada bulan yang sama di Desa mengalami keadaan dimana 18.970.000 penduduk miskin dengan persentase 15,72% dari jumlah keseluruhan penduduk di desa dan pendapatan perkapitanya adalah Rp. 213.395,- perbulannya.
Pada Maret 2012 terdapat 10.650.000 jiwa yang mengalami kemiskinan di kota dengan persentase 8.78 keadaan ini tampak mengalami penurunan sekitar 500.000 jiwa dan pendapatan perkapita pada saat itu adalah Rp. 267.408,- perbulan tampak naik sekitar Rp. 14.392. dan didesa juga tampak penurunan angka kemiskinan sekitar 480.000 jiwa dan pendapatan perkapita didesa juga mengalami peningkatan sebesar Rp. 15.831,- perkapita.
Pada Maret 2013 jumlah kemiskinan tampak berkurang dari 10.650.000 jiwa menjadi 10.330.000 jiwa dengan persentase dari 29.19% menjadi 28.07% dan pendapatan perkapita dari Rp. 253.273,- perbulan menjadi Rp. 229.226 dan didesa jumlah kemiskinan juga berkurang mulai dari 18.490.000 menjadi 17.740.000 penurun yang sangat signifikan dengan pendapatan perkapita yang menaik drastis mulai dari Rp. 229.226 menjadi Rp. 253.273,- perbulannya.
Pada Maret 2014 jumlah penduduk miskin di kota tampak meningkat dari 10.330.000 menjadi 10.510.000 mengalami kenaikan 210.000 jiwa. Dengan persentase 8.34%  namun pendapatan perkapita dikota juga sangat meningkat Rp. 318.514 hal ini disebabkan oleh meningkatnya inflasi di Indonesia. Didesa kemiskinan juga meningkat dari 17.740.000 menjadi 17.770.000 jiwa dengan persentase 8,43% dari seluruh penduduk di desa dan pendapatan perkapita sebesar Rp. 286.097 perbulan.
Pada Maret 2015 jumlah penduduk miskin meningkat lagi menjadi 10.650.000 jiwa dengan persentase 8,29% dan pendapatan perkapita Rp.342.541 perbulan dan didesa juga mengalami kenaikan jumlah kemiskinan menjadi 17.940.000 jiwa dengan persentasi 14.21%  dari seluruh penduduk dan pendapatan perkapita sebesar Rp. 317.881,- perbulan.
Pada Maret 2016 mengalami penurunan yang sangat signifikan menjadi 10.340.000 jiwa dengan persentase 7,79% dan pendapatan perkapitanya Rp. 364.527,- perbulannya dan didesa juga menurun menjadi 17.670.000 jiwa dengan persentase 10,86% dengan pendapatan perkapita sebesar Rp. 343.647 perbulannya. Hal ini sangat memacu peningkatan pertumbuhan pembangunan.
Pada Maret 2017 jumlah penduduk miskin meningkat drastis sebesar 330.000 jiwa dari sebelumnya dan menjadi 10.670.000 jiwa dengan persentase 7.72% dan pendapatan perkapita Rp.385.621 perbulannya. Dan didesa  mengalami penurunan yang baik sebesar 560.000 jiwa dari sebelumnya dan menjadi 17.100.000 jiwa dengan persentase 13.93% dengan pendapatan perkapitanya Rp. 361.496 perbulan.
Dari data diatas tampak walaupun pendapatan perkapita penduduk selalu mengalami peningkatan belum tentu dapat mengurangi jumlah penduduk miskin. Hal ini disebabkan oleh inflasi yang belum stabil dan sangat mempengaruhi pertumbuhan penduduk miskin. Selain data diatas diambil juga kesimpulan tentang data tersebut adalah:
Pengendalian Inflasi di Indonesia
Sebagaimana halnya yang umum terjadi pada negara – negara berkembang, inflasi di Indonesia relatif lebih banyak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat struktural ekonomi bila dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat monetary policies. Sehingga bisa dikatakan, bahwa pengaruh dari cosh push inflation lebih besar dari pada demand pull inflation. Memang dalam periode tahun-tahun tertentu, misalnya pada saat terjadinya oil booming, tekanan inflasi di Indonesia disebabkan meningkatnya jumlah uang beredar. Tetapi hal tersebut tidak dapat mengabaikan adanya pengaruh yang bersifat struktural ekonomi, sebab pada periode tersebut, masih terjadi kesenjangan antara penawaran agregat dengan permintaan agregat, contohnya di sub sektor pertanian, yang dapat meningkatkan derajat inflasi. Pada umumnya pemerintah Indonesia lebih banyak menggunakan pendekatan moneter dalam upaya mengendalikan tingkat harga umum. Pemerintah Indonesia lebih senang menggunakan instrumen moneter sebagai alat untuk meredam inflasi, misalnya dengan open market mechanism atau reserve requirement. Tetapi perlu diingat, bahwa pendekatan moneter lebih banyak dipakai untuk mengatasi inflasi dalam jangka pendek, dan sangat baik diterapkan peda negara-negara yang telah maju perekonomiannya, bukan pada negara berkembang yang masih memiliki structural bottleneck. Jadi, apabila pendekatan moneter ini dipakai sebagai alat utama dalam mengendalikan inflasi di negara berkembang, maka tidak akan dapat menyelesaikan problem inflasi di negara berkembang yang umumnya berkarakteristik jangka panjang. Seperti halnya yang terjadi di Indonesia pada saat krisis moneter yang selanjutnya menjadi krisis ekonomi, inflasi di Indonesia dipicu oleh kenaikan harga komoditi impor (imported inflation) dan membengkaknya hutang luar negeri akibat terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dan mata uang asing lainnya.
Akibatnya, untuk mengendalikan tekanan inflasi, maka terlebih dahulu harus dilakukan penstabilan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dolar Amerika. Dalam menstabilkan nilai kurs, pemerintah Indonesia cenderung lebih banyak memainkan instrumen moneter melalui otoritas moneter dengan tight money policy yang diharapkan selain dapat menarik minat para pemegang valuta asing untuk menginvestasikan modalnya ke Indonesia melalui deposito, juga dapat menstabilkan tingkat harga umum. Tight money policy yang dilakukan dengan cara menaikkan tingkat suku bunga SBI (melalui open market mechanism) sangat tinggi, pada satu sisi akan efektif untuk mengurangi money suplly, tetapi di sisi lain akan meningkatkan suku bunga kredit untuk sektor riil. Akibatnya, akan menyebabkan timbulnya cost push inflation karena adanya interest rate-price spiral. Apabila tingkat suku bunga (deposito) perbankan sudah terlalu tinggi, sehingga dana produktif (dana untuk berproduksi atau berusaha) yang ada di masyarakat ikut terserap ke perbankan, maka akan dapat menyebabkan timbulnya stagnasi atau bahkan penurunan output produksi nasional (disebut dengan Cavallo effect). Lebih lagi bila sampai terjadi negatif spread pada dunia perbankan nasional, maka bukan saja menimbulkan kerusakan pada sektor riil, tetapi juga kerusakan pada industri perbankan nasional (sektor moneter). Jika kebijaksanaan ini terus dilakukan oleh pemerintah dalam jangka waktu menengah atau panjang, maka akan terjadi depresi ekonomi, akibatnya struktur perekonomian nasional akan rusak. Jika demikian halnya, maka sebaiknya kebijaksanaan pengendalian inflasi bukan hanya dilakukan melalui konsep kaum moneterist saja, tetapi juga dengan memperhatikan cara pandang kaum structuralist, yang lebih memandang perlunya mengatasi hambatan-hambatan struktural yang ada.
KESIMPULAN
Masalah inflasi di Indonesia ternyata bukan saja merupakan fenomena jangka pendek, tetapi juga merupakan fenomena jangka panjang. Dalam arti, bahwa inflasi di Indonesia bukan semata-mata hanya disebabkan oleh gagalnya pelaksanaan kebijaksanaan di sektor moneter oleh pemerintah, yang seringkali dilakukan untuk tujuan menstabilkan fluktuasi tingkat harga umum dalam jangka pendek, tetapi juga mengindikasikan masih adanya hambatan-hambatan struktural dalam perekonomian Indonesia yang belum sepenuhnya dapat diatasi. Apabila mengacu pada usaha pengeliminasian hambatan-hambatan struktural tersebut, maka mau tidak mau harus memperhatikan dengan seksama pembangunan ekonomi di sektor riil. Dengan melakukan pembenahan di sektor riil secara tepat, bahkan mungkin sampai pada tahap messo dan micro ekonomi, maka kemantapan fundamental ekonomi Indonesia dapat diperkokoh. Defisit APBN; peningkatan cadangan devisa; pembenahan sektor pertanian khususnya pada sub sektor pangan; pembenahan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi posisi penawaran agregat merupakan hal-hal yang perlu mendapatkan penanganan yang serius untuk dapat menekan inflasi ke tingkat yang serendah mungkin di Indonesia, disamping tentunya pengelolaan tepat dan pembenahan di sektor moneter.
Inflasi dan kemiskinan berpengaruh signifikan dan searah terhadap jumlah kemiskinan. Peningkatan inflasi dan pengangguran akan mengakibatkan peningkatan jumlah penduduk miskin. Variabel kontrol pendidikan juga menunjukkan hubungan yang signifikan dengan kemiskinan dimana peningkatan dalam angka melek huruf yang digunakan sebagai indikator pendidikan menunjukkan penurunan dalam jumlah kemiskinan di Indonesia. Sementara pertumbuhan PDRB yang diharapkan dapat mengurangi jumlah kemiskinan, untuk periode penelitian ini tidak mampu mengurangi jumlah kemiskinan. Perhitungan kemiskinan dengan menggunakan poverty gap index menunjukkan bahwa inflasi dan pengangguran juga berpengaruh signifikan dan searah dengan melebarnya jurang antara rata-rata pendapatan/pengeluaran masyarakat miskin dan garis kemiskinan. Peningkatan inflasi dan pengangguran mengakibatkan semakin besarnya jurang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Boediono (1997), Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi No: 2 ; Ekonomi Makro, edisi keempat; Yogyakarta, BPFE.
Cavanese, A. J., The Structuralist Explanation in the Theory of Inflation, Word Development, No. 10 halaman 523-529.
Dalal, M.N., Schacher, G. (July 1988), Transmission of International Inflation to India : A Structural Analisis, The Journal of Developing Areas, No. 23, halaman 85-104.
 Friedman, Milton (March 1984), The Role of Monetary Policy, American Economic Review, halaman 57-71. Fry, M.J., (Maret 1971), Money and Capital or Financia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kajian Chapter 3 Multimedia Pembelajaran Interaktif: Herman Dwi Surjono. (2017)

CJR ENGLISH DITA NATANIA HAREFA

ANALISIS PENGARUH JUMLAH PENDUDUK DAN UMR TERHADAP JUMLAH PENGANGGURAN DI PROVINSI SUMATERA UTARA TAHUN 2007-2019